Minggu, 28 Juni 2009

Sedia Payung setelah Krisis?

KETIKA MENJADI Perdana Menteri China, Zhu Rongji memesan 100 peti mati. Satu untuk dirinya. Sisanya, 99 peti mati lainnya bagi siapa saja yang melakukan tindakan korupsi. Tidak ada yang berani melakukan korupsi. Terbukti, China menjadi negara yang aman untuk berinvestasi. Sehingga mengalami kemajuan pesat.

Gambaran nyata diatas barangkali ironi bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya. Keberhasilan negara China membunuh kuman-kuman korupsi dan saudaranya, kolusi dan nepotisme, tentu bukan disebabkan 100 peti mati yang dipesan Zhu Rongji. Karena peti mati, orang takut melakukan tindak korupsi. Ajaib bukan?. Jika semata-mata karena itu, mengapa BJ. Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono tidak mencontoh teknik resistansi yang sukses dilakukan Perdana menteri China itu.

Sangat menyedihkan. Mungkin niat mengikuti jejak Zhu urung tercapai karena para petinggi negara Indonesia sendiri takut karma bertolak kepadanya. Mati di peti mati sendiri.

Budaya korupsi menggerogoti hampir semua elemen. Ibarat anjing buta yang kelaparan, seruduk sana, seruduk sini, senggol sana, senggol sini, terjang sana, terjang sini. Terserah kemana ia berarah. Hanya penciuman yang bermain. Lebih dahsyat lagi, ketika indra penciuman mencium daging ayam panggang. Mengendus, lidah menjulur keluar, air liur yang kian deras menetes, semua kekuatan dikerahkan mengikuti mata angin. Itulah gambaran koruptor. Bengis dan besar hasrat memuaskan diri. Tak sulit menemukan spesies anjing buta kelaparan seperti ini..

Lain dari anjing biasanya yang nongkrong di pinggir selokan, kawasan pasar tradisionil, atau memungut makanan sisa rumah makan. Spesies yang satu ini, sudah kelas elite. Bergaul dengan kalangan bangsawan. Dan, tongkrongannya mulai dari pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah. Amatlah mudah mengenyangkan perut pribadi, keluarga, serta kerabat. Korbannya semakin banyak. Semua kantong dimasuki. Spesies ini pun beranak pinak. Malah sudah terbuka kedoknya. Tanpa malu-malu lagi mereka memperkenalkan bisnis setara MLM ini. Jaringan mereka pun meluas. Laksana jala yang ditebar ke laut. Slogan mereka pun menarik, "Bersatu Kita Bisa"-bukan bermaksud mencuri slogan Partai Pak SBY. Itu artinya semakin melebar downline mereka, sistem jaringanpun semakin kuat. Gampang untuk berinvestasi. Keseriusan menggeluti bisnis busuk ini, meraih simpati banyak orang. Korban berjatuhan. Disini kemusykilan terjadi. Metode terang-terangan mereka lakukan untuk melumpuhkan banyak korban, tapi tak jelas dimana, siapa korbannya. Seberapapun besar hasil korupsi untuk koruptor berinvestasi, tidak mengindikasikan siapa korban sesungguhnya. Terang Haryatmoko berkata, "Korupsi adalah Kejahatan Tanpa Wajah".

Clean Government di saat korupsi tengah membudaya; kolusi menjadi pilihan, dan nepotisme dianggap sah-sah saja, jelas sulit. Sebuah aksioma yang kini berspora adalah yang tidak korupsi dianggap luar biasa, sementara kalau korupsi dianggap biasa. Paradigma yang unik tapi nyentrik menurutku. Pada akhirnya, akan terjadi benturan kepentingan disini.

Slogan-slogan "Pemberantasan Korupsi" yang nyaris bisa kita baca di jalan-jalan protokol, kepala naga niaga kota (diartikan sebagai sentra usaha dan perdagangan), lalu lintas sarana pendidikan, lebih canggihnya bisa kita lihat via internet dan media televisi, memang hanya sekedar slogan. Retorika-retorika klise rajin disuarakan, terlebih KPK sendiri. Janji itu meluncur setiap saat dan semakin ramai bak titik gerimis yang berubah menjadi hujan, tetapi para koruptor dapat terus melenggang dengan indah.

Indonesia tidak bisa lari dari fatwa sebagai negara korup. Meskipun berlindung payung, rintik-rintik KKN tetap mampu menggenangi bumi pertiwi. Laporan dari Transparancy International (TI), menempatkan IndonesiaIndonesia membaik, menjadi nomor enam terkorup di dunia. Setahun kemudian, posisi Indonesia kian memburuk menjadi negara nomor tiga terkorup setelah Nigeria dan Kamerun. Hingga terakhir saya dengar, Metro TV menyebutkan Indonesia berada di posisi ke tiga sebagai negara terkorup se-Asia setelah Filipina dan Thailand. Kejahatan tanpa wajah bukan. sebagai negara terkorup di dunia pada tahun 1995. Pada tahun 1998 peringkat

Perangkat hukum bukannya tidak ada. Sudah banyak malah. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN, satu diantaranya. Ada pergulatan disini. Beberapa oknum berusaha mengakali perangkat hukum. Ketika pemerintah mengeluarkan PP Nomor 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, DPRD berusaha untuk tidak mempedomani PP tersebut. Dilakukan hak uji materi. DPRD menganggap PP tersebut bertentangan dengan UU nomor 4/1999 dan UU Nomor 22/1999. DPRD berhasil. MA akhirnya membatalkan PP No. 110/2000 tersebut. Satu bulan yang lalu, DPR juga menolak pengesahan Perpu tentang jaring pengaman sistem keuangan. Disayangkan itu terjadi Mestinya, pemerintah pro aktif Sedia Payung Sebelum Hujan. Peraturan pemerintah yang prinsipnya sama dengan Contingency Plan. Jika ada pelaku industri perbankan atau lembaga keuangan non-bank sempoyongan diterpa krisis dalam periode itu, pemerintah bisa bertindak cepat. bisa menjadi protokol untuk membentengi pemerintah bertindak diskriminatif

Dan, kenyataan berbeda. Alur strategi ikut pepatah Sedia Payung Sebelum Hujan, niscaya berganti menjadi Sedia Payung Setelah Krisis. Krisis moral, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis keuangan, dan krisis-krisis lainnya terjadi. Koruptor merajalela. Meski pelik, bukan berarti telat kan. Payung-payung pertanda pertahanan tetap bisa disediakan. Gamawan Fauzi menawarkan Pakta integritas (Integrity Pact) menghadapi kondisi ini. Didalamnya terangkum nilai kejujuran, nilai moral, dan nilai sosial, serta komitmen untuk tidak memberi dan menerima uang illegal. Semua mesti taat aturan.

Konsep yang ditawarkan Gamawan selaku praktisi untuk mengatasi krisis layak kita pertimbangkan. Usaha memerangi korupsi harus selalu diteriakkan oleh semua kalangan yang peduli. Sehingga tumbuh kesan bahwa korupsi adalah perbuatan hina, memalukan, dan sangat tidak terpuji. Orang-orang kaya akan menjadi malu apabila kekayaannya dicurigai atau dia dituduh korupsi.

Selaras dengan itu, benahi sistem dan aturan yang ada untuk menutup peluang terjadinya korupsi. Kelemahan sistem kerap menjadi daya tarik terjadinya korupsi. Selain itu, perbaiki kesejahteraan aparatur pemerintah. Gaji yang tidak memadai, menimbulkan dorongan yang kuat untuk korup asal kepentingan keluarga tercukupi. Pengalaman Lee Kuan Yuu mungkin bisa menjelaskan tentang ini: ketika memulai membangun Singapore, dengan lihai Lee Kuan Yuu merancang kebijakan yang cantik untuk birokrasinya. Dia memberikan tunjangan kesejahteraan yang baik buat aparat penegak hukum karena yakin mereka memiliki tingkat kerawanan yang besar akan godaan. Menurutnya, sebelum membersihkan, pembersih harus bersih terlebih dahulu.

Cara selanjutnya adalah tidak ada toleransi sedikitpun dengan pelaku sogok. Jangan pernah melemah apalagi mengalah untuk tidak menghukum berat pelaku sogok. Selain itu, barangkali perlu ada shok terapi untuk setiap kasus korupsi, dengan menghukum berat pelaku agar jera dan menyurutkan nyalinya untuk mengulangi hal yang sama.

Beberapa pemikiran yang ditawarkan bukanlah obat paling mujarab untuk memberantas korupsi. Tidak ada resep yang serta-merta mampu mengobati penyakit kronis ini. Karena itu, tidak bisa ditinggalkan, pintu agama, pendidikan, adat dan nilai lokal merupakan terapi yang diperlukan juga.